ANAK COME PUNK
(boleh baca: anak kampung atau anak kampang. Terserah)
Cerpen Efvhan Fajrullah
Kakekku tak lagi suka memancing. Dia pun sepertinya tak cinta lagi pada kipas angin listriknya yang sudah beberapa kali diperbaiki. Pertemuan kami sudah lama meninggalkan papan catur. Sekarang dia mempunyai kebiasaan baru, bila aku sujud pada tangannya, dia seperti ketakutan dan berteriak,
–Revolusi tai kucing, revolusi ilusi, revolusi tanpa bau surga–
Kemudian berkembang menjadi keluhan dengan setengah menangis sambil menolak tanganku.
–Reformasi ayam sayur, reformasi flu burung...!–
Karena keseringan mendengar jeritan kakek, akupun tidak bisa melarang bila kakaktua kesayangan ayah sering melafazkan itu. Kebiasaan itu juga menular kepada beberapa orang keponakanku yang memang harus menempati rumah waris kakek.
Kalaupun ada kejahatanku kepada kakek, dapat kurangkum menjadi satu; terlalu banyak tau apa yang dia inginkan untuk negara kami. Bahkan dia pernah menjadikan aku sebagai kadernya yang paling dipercaya. Walaupun dia juga yang melarang aku untuk menjadi tentara. Alasannya sangat tepat saat itu. Dia tau betul apa artinya jadi tentara, karena dia adalah pensiunan Jenderal. Aku lebih disupportnya untuk membangun gerakan dalam garis kawan satu pahamnya. Lalu orang-orang dekatnya mengatakan,
–Engkaulah juniornya. Engkaulah gambaran semangat dia selagi muda– Mula-mula kutolak itu semua.
Aku, ya aku. Kakek, ya kakek. Mungkin karena keseringan aku pun mulai terobsesi dan diam-diam juga kusenangi bila ada yang mengaitkan aku pada kebesaran dan keharuman nama kakekku.
Dalam tiga buku yang ditulisnya sejak dia dikucilkan, dia sering menuliskan namaku dengan huruf kapital. Saudara-saudara kandung dan misanku, serta saudara ayah dan ibu, sangat mengerti akan sikap kakek. Arti kehadiranku sebagai cucu tersayang itu, juga karena di masa sulit kakek, aku termasuk orang yang paling dekat dengannya. Sewaktu dia dipenjara, akulah yang sering menemani dia. Lucunya, aku pernah sekali-sekali menemaninya tidur di balik terali karena keinginanku sendiri dan lobi beberapa menteri. Kemudian, dia juga yang menghibahkan kepadaku sebuah ruangan perpustakaan yang ada di ruang rahasia keluarga kami.
Dan aku dituntut dalam sebuah perjanjian tertulis sampai mati atas tanggung jawab tersebut. Kini aku juga heran dengan perkembangan jiwanya yang membingungkan.
***
Senja kemarin-kemarin lebih emas dibanding dengan senja seminggu ini. Daun-daun tua di kebun semakin banyak yang runtuh, dan hujan terasa kian rajin membasahi bumi. Aku mulai lagi direpotkan dengan keluhan keluarga jauh yang rata-rata hampir tak dapat mengikuti acara kumpul keluarga pada malam nanti. Aku yang memang masih dianggap sebagai corong kakek, cuma dapat mencatat dan menginformasikan; kalau pertemuan kali ini mengagendakan persiapan Ulang Tahun Perkawinan Berlian kakek dan nenek, sekaligus peringatan kemerdekaan bangsa kami yang memang telah menjadi tradisi wajib bagi keluarga besar kami.
Kakek sudah memulai persiapan itu dari sejak pagi. Dialah orang pertama yang sangat siap dengan pakaian kebesarannya. Sementara, nenek sendiri sudah dirias sebagai juru rawat. Dulu, Nenek adalah Pandu Putri yang juga aktif dalam palang merah. Aku terpaksa mengatakan; nenek sebagai juru rawat karena… apa ada, jururawat yang terbaring di kursi roda karena stroke?
Nenek, di masa tuanya telah menjadikan aku musuh nomor satunya. Setiap pertemuan kami selalu dipenuhi dengan tudingan yang tak terhitung lagi. Di antaranya, yang masih sangat aku ingat; sewaktu dia menolak aku untuk mengangkatnya dari kursi rodanya ke ranjang. Dan ucapan lirih dengan suara yang geram terdengar kembali,
–Beb-zeb, beb-pep, bebebebebebb-zzzebzebbb-zebeeebzbb pepeppp–
dan seterusnya, dan sebagainya. Lalu aku mencoba membuat terjemahan bebasnya dalam penafsiran sebagai
–Mengapa kau rebut Jenderal dari sisiku...? Apa sebab kau mengkudeta kedudukanku?–
Akan tetapi, kakakku malah lebih fatal lagi mengarti-bebaskannya
–Anak tak beradab…! Anak yang mengingkari adat...! Adat lama tak lagi kau pakai, adat baru kurang akal. Lost control. Korban ilmu pengetahuan–
Adikku yang baru pulang dari Indonesia sebagai sarjana seni, telah pula menjadikannya sebuah puisi; “Nenek membasuh darah Jenderal Tua itu pada batu kembang dua kali. Pertama, sewaktu ruang itu padat musuh. Kedua, terserah aku.”
Setelah dua jam lebih aku di WC dan melahirkan tiga lembar tulisan tangan, aku masuk ke ruang bawah tanah. Ruang yang menjadi tempat keluarga inti mengatur segala rencana. Di sudut ruang berpermadani itu telah duduk dua puluh orang yang kukenal dengan baik. Mereka melihat kehadiranku dengan kertas ini sebagai sebuah ancaman. Sudah biasa. Bila aku keluar dengan karya-karyaku, keluarga ini pun akan dibicarakan banyak orang. Dan musuh politik keluarga besar kami, terutama musuh nama besar kakek akan bereaksi dengan sekeras mungkin. Apalagi mereka adalah orang-orang yang dibayar ganda oleh media massa dan penguasa.
– Berita apa yang kau bawa dari WC? – bapakku memulai.
– Hari ini aku tidak menuliskan huruf-huruf. Aku menulis dengan air dan dakiku! –
– Karya apa pun itu, kami tak ingin ada ideologinya. Ini bahaya lama di dunia baru –
– Bapak yang kenal aku, hari ini aku tak kenal bapakku yang kemarin –
– Jangan memancing energi kemarahan yang lain! – Bapakku berhasil menjadi agresor.
– Kau tidak tahu, berita hari ini hampir semua menanggapi tulisanmu yang kemarin. Tujuh koran lokal, delapan koran nasional, tiga media internasional dan dua ratusan SMS, dan tak terdeteksi lagi komentar-komentar orang-orang di internet. Tak satu pun yang mau mengerti mengapa kau beranggapan selalu gagal mendompleng ideologi Jenderal pikun itu! –
Aku lalu dikeroyok secara fisik. Mereka saling memperebutkan tiga lembar kertas itu dan lalu menyobek-nyobeknya. Dengan muka garang, mereka memojokkan aku ke sudut, dekat peti tua. Maaf, aku diikat dan mulutku disumpal dengan bendera. Sepertinya ini sudah sangat terencana.
–Tuan-tuan dan puan-puan, kongres keluarga kita yang lalu dinyatakan; mulai hari ini tidak lagi sah. Kepengurusan dibubarkan, dan kondisi kini vacuum power.– Ungkap Encik Bendara semakin memperjelas posisiku. Tawanan.
–Seperti yang kita sepakati dan kita tandatangani, budag satu ini tak lebih setan. Musuh kita yang sangat jelas. Karena keadilan harus ditegakkan, dan kebenaran perlu juga dikabarkan pada pesakit. Saya selaku penghakim akan membacakan tuntunan yang berbunyi; satu, dalam sidang yang tepat dan cepat ini, keputusan diambil berdasarkan kepada kepentingan saat ini. Dimana, pesakit harus tunduk dan patuh pada putusan juri atas suara mayoritas. Dua, alat ukur untuk pembelaan adalah kepentingan kolektip dan kepentingan mayoritas–
Aku terhukum. Salah sebelum diputuskan dan itu aturan mereka. Dan rencana terbaikku saat ini adalah; mengkhayal tentang seseorang yang berulangkali gagal aku cintai.
Namanya Flatus. Tapi aku punya panggilan yang sangat akrab padanya, O. Bisa disebut O biasa, O pepet. Atau O lingkaran, O bundaran, O spiral. Kadangkala dia aku panggil Nol, Zero, Kosong, kemudian ada temanku memberi informasi O dalam bahasa Jerman dan Perancis disebut Nul. Dihubungkan dengan fisik aku pun sering meneriaki dia dengan sebutan ‘Bulat’. Dia sangat marah, kalau aku sampai memanggil namanya sebagai Nihil atau Hampa. Kecenderungan paling lucu yang dia kilahkan padaku adalah;
–Mengapa tak kau panggil aku Tebok atau Bolong. Bisa juga Buntet atau Lobang—
Kami ada jadwal rutin. Dialah sahabat sekaligus musuh kreativitasku. Entah karena apa kami akrab, tak jelas. Pertama kali aku melihatnya, disaat dia mengais sampah dekat rumah seorang jenderal, teman seperjuangan kakekku juga. Dia sedang mengumpulkan kertas merah dan kertas putih, yang pada saat itu memang sangat banyak. Aku kecil dan dia kecil saling pandang. Lalu, aku temani saja dia mengumpulkan semua itu ke dalam keranjangnya. Kami bekerja seperti berebutan, sampai dia yakin kalau aku hanya membantunya, bukan ingin memiliki kertas merah-putih tersebut. Saat kami sudah mulai kecapean, datang seorang nenek kere. Dia langsung mengenali aku.
—Hei… cucu seorang jenderal seberang, mengapa kau jadi gelandangan juga?—
Aku kecil memang nakal. Lebih nakal dari aku setelah mulai agak membesar. Langsung saja kujawab ejekannya
—Mengapa? Memangnya gelandangan zaman dulu tidak bisa jadi jenderal zaman sekarang?— lalu kami tertawa. Sempat aku melirik ke pos monyet yang juga mengeluarkan suara tawa. Seorang penjaga, ternyata dari tadi memperhatikan kami. Tawanya sangat khas. Tertawanya itu juga yang sering aku pakai, karena tawanya lekat pada urat geliku. Sayang, tawa yang sangat bebas dan ramai seperti masa kecil itu tak dapat kami ulangi lagi. Bayangkan, kami sampai terpingkal-pingkal dan berguling-guling di atas kertas merah-putih bekas pembungkus buah dengan sangat keras dan lepas. Sampai-sampai, anjing tetangga pun ikut menggonggong. Kini, mungkin saja anjing kampung itu juga ikut tertawa.
Flatus sendiri tak ingat dengan detail peristiwa itu. Yang dia ingat cuma satu alasan, mengapa mencintai aku. Dia pernah berujar saat kutemani naik ke atap rumah susun tempat penampungan para gelandangan;
—Setelah kita seringkali jumpa, dan aku kembali sekolah atas biaya kakekmu, tak ada alasan lain bagiku untuk mencari orang tercinta selain kamu. Walaupun kau tidak pernah boleh atau bisa menikahiku, aku akan tetap mempertahankan perasaan. Pacaranlah kau dengan orang lain. Beristrilah kau dengan bukan aku, atau kau mati. Aku masih sangat tetap dalam berkeyakinan, mencintai kamu adalah mencintai diriku. –
Aku menyerah. Menyerahkan segalanya, termasuk di dalamnya keperjakaanku. Kami melakukan persenyawaan itu sedari kecil. Dan Flatus bukan seorang perawan. Menurut ceritanya;
–Malam itu gelap matalah pacar emakku. Setelah emak dibuatnya terlelap, aku pun ikut ia garap. Biadabnya, itu terjadi berulangkali dan aku belum lagi mengerti. Saat pacar emakku pun mati, aku masih sangat kecil sekali. —
Awalnya, aku merasa diperkosa Flatus. Tetapi, setelah agak besar, aku menyadari. Flatus adalah guruku dalam persoalan seks. Dan kini, aku masih sangat banyak belajar padanya tentang itu. Menurutku dia melakukan hubungan itu dengan segenap jiwa-raganya, sementara aku, lebih sering dengan nafsu belaka, raga semata.
***
— Stop, khayalanmu! — Sentakan dari langit-langit ruang bawah tanah. Sang Jenderal turun dengan tubuh telanjangnya. Dan tanpa senjata dia melepaskan ikatanku. Membongkar bendera di mulutku. Sementara yang lain terdiam dengan ulah jenderal tua ini. Dengan seksama dia menjadikan bendera itu alat penutup kemaluannya. Dan dia berorasi,
– Anak ini adalah proses kekeliruan kita. Kepalanya dipenuhi khayalan seni, di hatinya penuh spiritualitas tinggi. Perutnya kapitalis, kemaluannya komunis, dan kakinya liberal. Tangannya nasionalis, bajunya bergonta-ganti. Semua itu kontribusi kita. Lalu, bila dia memainkan peran di luar ideologi kalian yang tidak berideologi dan tidak berasas pada negara ini. Apakah dia bukan anak kalian? Jawab! – Mereka membeku, ruangan batu, hidup jadi kaku,
– Apakah ini anak come-punk itu? Sementara di hati kalian tidak ada lagi negara. Dan ini bukan Indonesia –
Aku harus bicara pada Jenderal ini. Dengan sangat ingin berkata pada seluruh keluarga,
– Tiga kertas yang kalian sobekkan itu mengingatkan aku pada orang-orang kreatif yang menulis pakai darah. Melukis pakai darah. Dan berkata dengan darah. Kalian tidak tahu energi apa yang tersimpan dalam tulisan itu. Pada tiga kertas itu aku tuliskan coretan yang tanpa bentuk. Cuma aku yang mengerti apa isinya. Apakah kalian mau tahu? –
Mereka serentak mengangguk seperti robot.
– Isinya tiga. Satu, Nak. Dua, come. Tiga, punk. Itu saja –
– Cuma itu? – Koor dari langit-langit menembus bawah tanah.
– Cuma itu. Nak, come punk –
Catatan Khusus buat my surv:
Semoga KITA tak menipu Taqdir.
(boleh baca: anak kampung atau anak kampang. Terserah)
Cerpen Efvhan Fajrullah
Kakekku tak lagi suka memancing. Dia pun sepertinya tak cinta lagi pada kipas angin listriknya yang sudah beberapa kali diperbaiki. Pertemuan kami sudah lama meninggalkan papan catur. Sekarang dia mempunyai kebiasaan baru, bila aku sujud pada tangannya, dia seperti ketakutan dan berteriak,
–Revolusi tai kucing, revolusi ilusi, revolusi tanpa bau surga–
Kemudian berkembang menjadi keluhan dengan setengah menangis sambil menolak tanganku.
–Reformasi ayam sayur, reformasi flu burung...!–
Karena keseringan mendengar jeritan kakek, akupun tidak bisa melarang bila kakaktua kesayangan ayah sering melafazkan itu. Kebiasaan itu juga menular kepada beberapa orang keponakanku yang memang harus menempati rumah waris kakek.
Kalaupun ada kejahatanku kepada kakek, dapat kurangkum menjadi satu; terlalu banyak tau apa yang dia inginkan untuk negara kami. Bahkan dia pernah menjadikan aku sebagai kadernya yang paling dipercaya. Walaupun dia juga yang melarang aku untuk menjadi tentara. Alasannya sangat tepat saat itu. Dia tau betul apa artinya jadi tentara, karena dia adalah pensiunan Jenderal. Aku lebih disupportnya untuk membangun gerakan dalam garis kawan satu pahamnya. Lalu orang-orang dekatnya mengatakan,
–Engkaulah juniornya. Engkaulah gambaran semangat dia selagi muda– Mula-mula kutolak itu semua.
Aku, ya aku. Kakek, ya kakek. Mungkin karena keseringan aku pun mulai terobsesi dan diam-diam juga kusenangi bila ada yang mengaitkan aku pada kebesaran dan keharuman nama kakekku.
Dalam tiga buku yang ditulisnya sejak dia dikucilkan, dia sering menuliskan namaku dengan huruf kapital. Saudara-saudara kandung dan misanku, serta saudara ayah dan ibu, sangat mengerti akan sikap kakek. Arti kehadiranku sebagai cucu tersayang itu, juga karena di masa sulit kakek, aku termasuk orang yang paling dekat dengannya. Sewaktu dia dipenjara, akulah yang sering menemani dia. Lucunya, aku pernah sekali-sekali menemaninya tidur di balik terali karena keinginanku sendiri dan lobi beberapa menteri. Kemudian, dia juga yang menghibahkan kepadaku sebuah ruangan perpustakaan yang ada di ruang rahasia keluarga kami.
Dan aku dituntut dalam sebuah perjanjian tertulis sampai mati atas tanggung jawab tersebut. Kini aku juga heran dengan perkembangan jiwanya yang membingungkan.
***
Senja kemarin-kemarin lebih emas dibanding dengan senja seminggu ini. Daun-daun tua di kebun semakin banyak yang runtuh, dan hujan terasa kian rajin membasahi bumi. Aku mulai lagi direpotkan dengan keluhan keluarga jauh yang rata-rata hampir tak dapat mengikuti acara kumpul keluarga pada malam nanti. Aku yang memang masih dianggap sebagai corong kakek, cuma dapat mencatat dan menginformasikan; kalau pertemuan kali ini mengagendakan persiapan Ulang Tahun Perkawinan Berlian kakek dan nenek, sekaligus peringatan kemerdekaan bangsa kami yang memang telah menjadi tradisi wajib bagi keluarga besar kami.
Kakek sudah memulai persiapan itu dari sejak pagi. Dialah orang pertama yang sangat siap dengan pakaian kebesarannya. Sementara, nenek sendiri sudah dirias sebagai juru rawat. Dulu, Nenek adalah Pandu Putri yang juga aktif dalam palang merah. Aku terpaksa mengatakan; nenek sebagai juru rawat karena… apa ada, jururawat yang terbaring di kursi roda karena stroke?
Nenek, di masa tuanya telah menjadikan aku musuh nomor satunya. Setiap pertemuan kami selalu dipenuhi dengan tudingan yang tak terhitung lagi. Di antaranya, yang masih sangat aku ingat; sewaktu dia menolak aku untuk mengangkatnya dari kursi rodanya ke ranjang. Dan ucapan lirih dengan suara yang geram terdengar kembali,
–Beb-zeb, beb-pep, bebebebebebb-zzzebzebbb-zebeeebzbb pepeppp–
dan seterusnya, dan sebagainya. Lalu aku mencoba membuat terjemahan bebasnya dalam penafsiran sebagai
–Mengapa kau rebut Jenderal dari sisiku...? Apa sebab kau mengkudeta kedudukanku?–
Akan tetapi, kakakku malah lebih fatal lagi mengarti-bebaskannya
–Anak tak beradab…! Anak yang mengingkari adat...! Adat lama tak lagi kau pakai, adat baru kurang akal. Lost control. Korban ilmu pengetahuan–
Adikku yang baru pulang dari Indonesia sebagai sarjana seni, telah pula menjadikannya sebuah puisi; “Nenek membasuh darah Jenderal Tua itu pada batu kembang dua kali. Pertama, sewaktu ruang itu padat musuh. Kedua, terserah aku.”
Setelah dua jam lebih aku di WC dan melahirkan tiga lembar tulisan tangan, aku masuk ke ruang bawah tanah. Ruang yang menjadi tempat keluarga inti mengatur segala rencana. Di sudut ruang berpermadani itu telah duduk dua puluh orang yang kukenal dengan baik. Mereka melihat kehadiranku dengan kertas ini sebagai sebuah ancaman. Sudah biasa. Bila aku keluar dengan karya-karyaku, keluarga ini pun akan dibicarakan banyak orang. Dan musuh politik keluarga besar kami, terutama musuh nama besar kakek akan bereaksi dengan sekeras mungkin. Apalagi mereka adalah orang-orang yang dibayar ganda oleh media massa dan penguasa.
– Berita apa yang kau bawa dari WC? – bapakku memulai.
– Hari ini aku tidak menuliskan huruf-huruf. Aku menulis dengan air dan dakiku! –
– Karya apa pun itu, kami tak ingin ada ideologinya. Ini bahaya lama di dunia baru –
– Bapak yang kenal aku, hari ini aku tak kenal bapakku yang kemarin –
– Jangan memancing energi kemarahan yang lain! – Bapakku berhasil menjadi agresor.
– Kau tidak tahu, berita hari ini hampir semua menanggapi tulisanmu yang kemarin. Tujuh koran lokal, delapan koran nasional, tiga media internasional dan dua ratusan SMS, dan tak terdeteksi lagi komentar-komentar orang-orang di internet. Tak satu pun yang mau mengerti mengapa kau beranggapan selalu gagal mendompleng ideologi Jenderal pikun itu! –
Aku lalu dikeroyok secara fisik. Mereka saling memperebutkan tiga lembar kertas itu dan lalu menyobek-nyobeknya. Dengan muka garang, mereka memojokkan aku ke sudut, dekat peti tua. Maaf, aku diikat dan mulutku disumpal dengan bendera. Sepertinya ini sudah sangat terencana.
–Tuan-tuan dan puan-puan, kongres keluarga kita yang lalu dinyatakan; mulai hari ini tidak lagi sah. Kepengurusan dibubarkan, dan kondisi kini vacuum power.– Ungkap Encik Bendara semakin memperjelas posisiku. Tawanan.
–Seperti yang kita sepakati dan kita tandatangani, budag satu ini tak lebih setan. Musuh kita yang sangat jelas. Karena keadilan harus ditegakkan, dan kebenaran perlu juga dikabarkan pada pesakit. Saya selaku penghakim akan membacakan tuntunan yang berbunyi; satu, dalam sidang yang tepat dan cepat ini, keputusan diambil berdasarkan kepada kepentingan saat ini. Dimana, pesakit harus tunduk dan patuh pada putusan juri atas suara mayoritas. Dua, alat ukur untuk pembelaan adalah kepentingan kolektip dan kepentingan mayoritas–
Aku terhukum. Salah sebelum diputuskan dan itu aturan mereka. Dan rencana terbaikku saat ini adalah; mengkhayal tentang seseorang yang berulangkali gagal aku cintai.
Namanya Flatus. Tapi aku punya panggilan yang sangat akrab padanya, O. Bisa disebut O biasa, O pepet. Atau O lingkaran, O bundaran, O spiral. Kadangkala dia aku panggil Nol, Zero, Kosong, kemudian ada temanku memberi informasi O dalam bahasa Jerman dan Perancis disebut Nul. Dihubungkan dengan fisik aku pun sering meneriaki dia dengan sebutan ‘Bulat’. Dia sangat marah, kalau aku sampai memanggil namanya sebagai Nihil atau Hampa. Kecenderungan paling lucu yang dia kilahkan padaku adalah;
–Mengapa tak kau panggil aku Tebok atau Bolong. Bisa juga Buntet atau Lobang—
Kami ada jadwal rutin. Dialah sahabat sekaligus musuh kreativitasku. Entah karena apa kami akrab, tak jelas. Pertama kali aku melihatnya, disaat dia mengais sampah dekat rumah seorang jenderal, teman seperjuangan kakekku juga. Dia sedang mengumpulkan kertas merah dan kertas putih, yang pada saat itu memang sangat banyak. Aku kecil dan dia kecil saling pandang. Lalu, aku temani saja dia mengumpulkan semua itu ke dalam keranjangnya. Kami bekerja seperti berebutan, sampai dia yakin kalau aku hanya membantunya, bukan ingin memiliki kertas merah-putih tersebut. Saat kami sudah mulai kecapean, datang seorang nenek kere. Dia langsung mengenali aku.
—Hei… cucu seorang jenderal seberang, mengapa kau jadi gelandangan juga?—
Aku kecil memang nakal. Lebih nakal dari aku setelah mulai agak membesar. Langsung saja kujawab ejekannya
—Mengapa? Memangnya gelandangan zaman dulu tidak bisa jadi jenderal zaman sekarang?— lalu kami tertawa. Sempat aku melirik ke pos monyet yang juga mengeluarkan suara tawa. Seorang penjaga, ternyata dari tadi memperhatikan kami. Tawanya sangat khas. Tertawanya itu juga yang sering aku pakai, karena tawanya lekat pada urat geliku. Sayang, tawa yang sangat bebas dan ramai seperti masa kecil itu tak dapat kami ulangi lagi. Bayangkan, kami sampai terpingkal-pingkal dan berguling-guling di atas kertas merah-putih bekas pembungkus buah dengan sangat keras dan lepas. Sampai-sampai, anjing tetangga pun ikut menggonggong. Kini, mungkin saja anjing kampung itu juga ikut tertawa.
Flatus sendiri tak ingat dengan detail peristiwa itu. Yang dia ingat cuma satu alasan, mengapa mencintai aku. Dia pernah berujar saat kutemani naik ke atap rumah susun tempat penampungan para gelandangan;
—Setelah kita seringkali jumpa, dan aku kembali sekolah atas biaya kakekmu, tak ada alasan lain bagiku untuk mencari orang tercinta selain kamu. Walaupun kau tidak pernah boleh atau bisa menikahiku, aku akan tetap mempertahankan perasaan. Pacaranlah kau dengan orang lain. Beristrilah kau dengan bukan aku, atau kau mati. Aku masih sangat tetap dalam berkeyakinan, mencintai kamu adalah mencintai diriku. –
Aku menyerah. Menyerahkan segalanya, termasuk di dalamnya keperjakaanku. Kami melakukan persenyawaan itu sedari kecil. Dan Flatus bukan seorang perawan. Menurut ceritanya;
–Malam itu gelap matalah pacar emakku. Setelah emak dibuatnya terlelap, aku pun ikut ia garap. Biadabnya, itu terjadi berulangkali dan aku belum lagi mengerti. Saat pacar emakku pun mati, aku masih sangat kecil sekali. —
Awalnya, aku merasa diperkosa Flatus. Tetapi, setelah agak besar, aku menyadari. Flatus adalah guruku dalam persoalan seks. Dan kini, aku masih sangat banyak belajar padanya tentang itu. Menurutku dia melakukan hubungan itu dengan segenap jiwa-raganya, sementara aku, lebih sering dengan nafsu belaka, raga semata.
***
— Stop, khayalanmu! — Sentakan dari langit-langit ruang bawah tanah. Sang Jenderal turun dengan tubuh telanjangnya. Dan tanpa senjata dia melepaskan ikatanku. Membongkar bendera di mulutku. Sementara yang lain terdiam dengan ulah jenderal tua ini. Dengan seksama dia menjadikan bendera itu alat penutup kemaluannya. Dan dia berorasi,
– Anak ini adalah proses kekeliruan kita. Kepalanya dipenuhi khayalan seni, di hatinya penuh spiritualitas tinggi. Perutnya kapitalis, kemaluannya komunis, dan kakinya liberal. Tangannya nasionalis, bajunya bergonta-ganti. Semua itu kontribusi kita. Lalu, bila dia memainkan peran di luar ideologi kalian yang tidak berideologi dan tidak berasas pada negara ini. Apakah dia bukan anak kalian? Jawab! – Mereka membeku, ruangan batu, hidup jadi kaku,
– Apakah ini anak come-punk itu? Sementara di hati kalian tidak ada lagi negara. Dan ini bukan Indonesia –
Aku harus bicara pada Jenderal ini. Dengan sangat ingin berkata pada seluruh keluarga,
– Tiga kertas yang kalian sobekkan itu mengingatkan aku pada orang-orang kreatif yang menulis pakai darah. Melukis pakai darah. Dan berkata dengan darah. Kalian tidak tahu energi apa yang tersimpan dalam tulisan itu. Pada tiga kertas itu aku tuliskan coretan yang tanpa bentuk. Cuma aku yang mengerti apa isinya. Apakah kalian mau tahu? –
Mereka serentak mengangguk seperti robot.
– Isinya tiga. Satu, Nak. Dua, come. Tiga, punk. Itu saja –
– Cuma itu? – Koor dari langit-langit menembus bawah tanah.
– Cuma itu. Nak, come punk –
Palembang, 21 Maret 2004Begadang di DKSS.
Catatan Khusus buat my surv:
Semoga KITA tak menipu Taqdir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar